Entri Populer

Minggu, 22 April 2012

SALING MEMAHAMI INTELEGENSI INTERPERSONAL


Intelegensi interpersonal memungkinkan kita untuk bisa memahami dan berkomunikasi dengan orang lain, melihat perbedaan dalam mood, temperamen, motivasi dan kemampuan. Kemampuan interpersonal ini terlihat jelas pada orang-orang yang memiliki kemampuan sosial yang baik, seperti pemimpin politik atau agama, para orang tua yang terampil, guru, ahli terapi, ataupun konselor. Salah seorang psikolog dari Inggris, N K Humprey mengatakan bahwa intelegensi sosial adalah hal yang paling penting dalam intelek manusia. Humprey mengatakan bahwa kegunaan kreatif dari pikiran manusia yang paling besar adalah mengadakan cara untuk mempertahankan sosial manusia secara efektif. Ciri-ciri orang yang memiliki intelegensi interpersonal yang bagus antara lain:
1.       Terikat dengan orang tua dan berinteraksi dengan orang lain.
2.       Membentuk dan menjaga hubungan sosial.
3.       Mengetahui dan menggunakan cara-cara yang yang beragam dalam berhubungan dengan orang lain.
4.       Merasakan perasaan, pikiran, motivasi, tingkah laku dan gaya hidup orang lain
5.       Berpartisipasi dalam kegiatan kolaboratif dan menerima bermacam peran yang perlu dilaksanakan oleh bawahan sampai pimpinan, dalam suatu hal usaha bersama.
6.       Mempengaruhi pendapat dan perbuatan orang lain.
7.       Memahami dan berkomunikasi secara efektif, baik dengan cara verbal maupun non verbal
8.       Menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan grup yang berbeda dan juga umpan balik (feedback) dari orang lain.
9.       Menerima perspektif yang bermacam-macam dalam masalah sosial dan politik.
10.     Tertarik pada karir yang berorientasi interpersonal seperti mengajar, pekerjaan sosial, konseling, manajemen atau politik.
11.     Membentuk proses sosial atau model yang baru.
PROSES PEMBELAJARAN INTERPERSONAL
          Intelegensi interpersonal sangatlah erat kaitannya dengan orang lain, sehingga banyak pengajar mengatakan bahwa mereka tidak akan dapat mengajar jika tidak dapat mengelompokkan murid-muridnya, baik berpasangan atau lebih dari 2 orang per grup. Kategori-kategori lain mengenai aktivitas pembelajaran interpersonal membangun lingkungan interpesonal yang positif, pembelajaran kolaboratif, penanganan konflik, belajar melalui tugas sosial/jasa, menghargai perbedaan, membangun perspektif yang beragam, pemecahan masalah global dan lokal dalam pendidikan multikultural.
MEMBANGUN LINGKUNGAN INTERPESONAL YANG POSITIF
          Banyak penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa belajar akan lebih produktif dan menyenangkan, jika siswa merasakan suatu perasaan memiliki dan mereka merasa kelasnya berfungsi sebagai komunitas yang peduli. Bagaimana cara membentuk lingkungan tersebut? Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah individu di kelas tersebut menjadi suatu grup yang afektif dan kohesif.


PEMBELAJARAN KOLABORATIF
          Ada banyak model, teori dan sumber dengan perspektif yang bermacam-macam dalam pembelajaran koperatif. Beberapa buku yang membahas masalah ini  buku yang dikarang oleh Elizabeth Cohen yang berjudul Designing Groupwork for Heterogeneous Classroom dan juga Cooperative Learning: Theory, Research and Practice karangan Robert Slavin. Dalam tinjauan penelitian pembelajaran koperatif, kesepakatan umum didapat bahwa metode seperti pembelajaran koperatif ini dapat meningkatkan pencapaian belajar siswa, mempercepat pembelajaran, meningkatkan daya ingat dan memiliki hasil akhir, yaitu tindakan positif terhadap pembelajaran itu sendiri. Johnson bersaudara telah menemukan 2 komponen penting dari pendekatan Colaborative Learning yang berhasil, meliputi:
a) pertanggungjawaban individual
          keberhasilan kelompok didasarkan pada kemampuan setiap anggota untuk menunjukkan bahwa dia telah belajar materi-materi yang sangat dibutuhkan. Pencapaian siswa terlihat meningkat ketika diketahui keberhasilan kelompok yang didasarkan pada nilai quiz anggota kelompok yang digabungkan, atau ketika suatu proyek atau salah satu anggota kelompok berperan serta dalam suatu proyek tim. Jelas terlihat bahwa pencapaian kesuksesan berkurang ketika suatu proyek atau pekerjaan diberikan kepada kelompok siswa yang tidak memiliki tanggung jawab dan tugas individual.
b) ketergantungan positif
          keberhasilan kelompok didasarkan atas kemampuan kelompok itu dalam bekerjasama untuk meraih hasil yang diinginkan, misalnya tingkatkan penghargaan, waktu luang dan ketenaran (pengakuan). Social skill (keterampilan sosial) tidak akan dicapai dengan hanya meminta siswa untuk bekerjasama. Mereka harus dilatih dengan sengaja.

MANAJEMEN KONFLIK
          Selama masa anak-anak, metode untuk menangani konflik dan frustasi berkembang dalam kita. Konflik merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dalam hidup kita, dapat dipandang sebagai suatu tantangan yang mampu mengajarkan cara-cara positif dan kostruktif dalam menangani masalah perselisihan. Salah satu cara untuk mengenalkan manajemen konflik adalah dengan cara mengidentifikasi sebab-sebab umum konflik.
Beberapa penyebab umum konflik:
-         Kepentingan individu tidak terpenuhi
-         Kekuatan tidak rata/sama
-         Komunikasi tidak efektif atau tidak terjadi komunikasi
-         Perbedaan nilai dan prioritas
-         Perbedaan persepsi dalam memandang situasi
-         Pendekatan belajar dan personalitas berbeda
Aspek menarik lainnya adalah bagaimana seseorang merespon konflik itu. Ada banyak cara dalam menangani konflik antara lain: berkompetisi, bekerjasama, menghindari, menyesuaikan diri, kompromi.
BELAJAR MELALUI TUGAS SOSIAL
          Youth Service America, suatu kantor nasional untuk program jasa terhadap terhadap masyarakat memperkirakan bahwa, sukarelawan SMU menyumbangkan 17 juta jam untuk pelayanan gratis pertahun, yang jika diukur dengan nilai dolar bernilai 60 juta dolar. Namun nilai sebenarnya dari pelayanan masyarakat itu tidak dapat diukur dengan nilai dolar (uang). Meskipun pelayanan itu sangat penting bagi masyarakat, efek dari pelayanan masyarakat dalam diri siswa SMU tersebut juga sangat penting. Siswa memperoleh keuntungan dengan cara melakukan suatu kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat, belajar tentang tanggung jawab sebagai warga negara secara langsung, menerapkan pelajaran akademik di sekolah pada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, melatih inisiatif pribadi dan mengalami perubahan yang positif dari remaja menjadi dewasa.
MENGHARGAI PERBEDAAN
          Henri David Thoreau pernah berkata, bahwa “jika orang tidak seiring dengan temannya, mungkin dikarenakan dia mendengar drummer yang berbeda, maka biarkan dia menuju ke musik yang dia dengar, tetapi ukurlah dekat atau jauh”. Hipocrates menyebutkan tipe-tipe personality yaitu: melancholik, sanguine, choleric dan phlegmatik. Istilah yang digunakan untuk memahami perbedaan manusia dalam belajar, telah banyak dideskripsikan yaitu: tipe psikologis, tipe personal, gaya kognitif, dan gaya belajar. Untuk membangun siswa dalam membangun kemampuan untuk menghargai perbedaan, sangatlah penting untuk memberi contoh perilaku dan juga menggunakan strategi-strategi yang menerangkan konsep belajar. Ketika menilai perbedaan individu, adalah sangat krusial untuk menyakinkan siswa tentang kenetralan dalam cara belajar yang berlainan. Kebiasaan dan sifat seseorang tidak lebih dari kebiasaan dan sifat orang lain, karena mereka sangat berbeda.
MENGEMBANGKAN PERSPEKTIF BERAGAM
          Persepsi kita terhadap orang lain dan terhadap situasi yang berbeda berasal dari pengalaman hidup kita, sistem nilai asumsi dan pengharapan ketika itu sangatlah mudah untuk menyatakan bahwa setiap orang merasakan dunia secara berbeda, konsep semacam ini sangat sulit untuk diinternalisasi. Menurut Steve Lamy, seorang guru Internasional Amerika yang terkenal, dikatakan sebagai “Pluralisme Intelektual”, yaitu kapasitas untuk menganalisa dan mengevaluasi perspektif yang berbeda. Solusi sebelumnya, yaitu menghargai perbedaan, mengajarkan siswa konsep tentang perbedaan cara pendekatan belajar orang lain. Kegiatan berrikut, meminta siswa untuk memikirkan perspektif yang beragam dalam interaksinya dengan orang lain, strategi ini meliputi menghargai persepsi orang lain. Memahami perbedaan point of view, melihat peristiwa yang terjadi dari beberapa sudut pandang, memikirkan implikasi global dan mempelajari berpikir secara sistematik dengan cara memikirkan pengaruh yang ditimbulkan dari tindakan manusia pada alam dan sistem buatan manusia.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
          Perubahan sifat demografi adalah salah satu dasar pemikiran yang kuat bagi pendidikan mulikultural di AS. Robert Maynard, presiden Universitas Chicago sebelumnya pernah berkata: “pendidikan terbaik bagi semua yang terbaik adalah pendidikan terbaik bagi semua. Kelihatan imperatif, ketika pendidikan yang baik termasuk pendidikan multikultur bagi setiap pelajar dari berbagai ras, etnik dan grup sosial. Karena semuanya akan berpartisipasi dalam masa depan multi etnik yang meningkat”. Banyak guru melihat pendidikan multikultur sebagai isi yang terbatas pada grup etnik, ras dan kebudayaan dan tidak relevan terhadap disiplin akasemik, melainkan kebalikannya dan itu sangatlah benar. James Banks salah satu ahli tekemuka negara itu yang ahli di bidangnya, dan pengarang buku Multiethnik Education: Theory and Practice mengatakan, bahwa pendidikan multikultural memerlukan perubahan dalam pendekatan pendidikan dan lingkungan sekolah.

Sumber:      1) Campbell, L., Campbell, B., Dickinson D. (2004). METODE PRAKTIS PEMBELAJARAN BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCE. Depok, IND: Intuisi Press.
                   2) Campbell, L. Dan Mckisson M. (1990). Our Only Earth: A Global Problem Solving Series. Tucson, AZ: Zepher Press.

Senin, 09 April 2012

SEKSUALITAS REMAJA: PERBEDAAN SEKSUALITAS ANTARA REMAJA YANG TIDAK MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL DAN REMAJA YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL


Pada masa remaja perkembangan seksualitas diawali ketika terjalinnya interaksi antar lawan jenis, baik itu interaksi antarteman maupun interaksi ketika berkencan. Dalam berkencan dengan pasangannya, remaja melibatkan aspek emosi yang diekspresikan dengan berbagai cara, seperti memberikan bunga, tanda mata, mengirim surat, bergandengan tangan, kissing, dan sebagainya. Survei yang dilaksanakan di beberapa negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa proporsi perempuan yang melakukan hubungan seks sebelum menikah cukup tinggi. Sementara di Amerika dengan subjek penelitian perempuan Afrika-Amerika berusia 14-18 tahun ditemukan 46% responden melakukan hubungan seksual kurang dari atau sama dengan 4 kali pada 6 bulan terakhir, dan 54 responden melakukan hubungan seksual lebih dari 4 kali dalam 6 bulan terakhir (SHOP Talk, 2002). Penelitian tentang seksualitas remaja pada beberapa kota di Indonesia pun memperlihatkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sarwono (1991) dalam population raport 1985 menunjukkan bahwa 1-25% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah.
          Survei terhadap perilaku seksual remaja di Jakarta yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) menunjukkan bahwa 2,8% pelajar SMA wanita dan 7% dari pelajar SMA pria melaporkan adanya gejala-gejala penyakit menular seksual (Utomo dkk, 1998). Sebuah penelitian di Malang dan Manado, serta sebuah penelitian di Bali menunjukkan bahwa 26% dan 29% anak muda berusia 20 sampai 24 tahun telah aktif seksual (Iskandar, 1998). Sementara itu hasil penelitian di Bali yang dilakukan oleh Soetjipto dan Faturochman (1989), menunjukkan bahwa persentase remaja laki-laki dan perempuan di desa dan kota yang telah melakukan hubungan seks sebelum menikah masing-masing adalah 23,6% dan 33,5%. Sementara di Semarang, penelitian terhadap 1086 responden pelajar SMPSMU ditemukan data 4,1% remaja putra dan 5,1% remaja putri pernah melakukan hubungan seks. Pada tahun yang sama Tjitarra mensurvei 205 remaja yang hamil tanpa dikehendaki. Survei yang dilakukan Tjitarra juga memaparkan bahwa mayoritas
dari mereka berpendidikan SMA ke atas, 23% di antaranya berusia 15-20 tahun,
dan 77% berusia 20 - 25 tahun (Satoto, dalam Yeni 1998). Sebuah survei terhadap 8.084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan
tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kenyataan-kenyataan di atas secara umum sangat kontradiktif dengan budaya Timur yang santun dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral-etik, dan secara khusus juga bertentangan dengan landasan filosofis dan budaya masyarakat Surakarta
yang adiluhung. Sebagaimana diketahui, Surakarta atau sering juga disebut Kutho Solo memiliki dinamika yang berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia, sehingga banyak gelar yang disandangnya, dari mulai kota budaya, kota kerajaan, kota berbasis agama hingga sebutan sebagai kota pelajar. Seringkali terjadi perbedaan pengertian antara perilaku seksual dengan hubungan seksual, sehingga masyarakat menangkap perilaku seksual sebagai hal yang negatif. Perilaku seksual ialah perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara pria dan wanita yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri.
          Secara psikologis pada fase remaja ada dua aspek penting yang dipersiapkan (Imran, 2000), antara lain:
Orientasi seksual. Pada masa ini remaja diharapkan sudah menemukan orientasi seksualitasnya atau arah ketertarikan seksualnya (heteroseksualitas atau homoseksualitas). Norma umum yang berlaku lebih menyukai jika seseorang menyukai orientasi seksualitas ke arah heteroseksualitas. Namun, tidak dipungkiri ada remaja yang memilih orientasi seksualitas homoseksualitas. Orientasi ini dipengaruhi oleh penghayatan terhadap jenis kelamin. Faktor individu (fisik atau psikologis), keluarga dan lingkungan ikut mendorong dan berperan dalam menguatkan identitas ini.
Peran seks. Peran seks adalah menerima dan mengembangkan peran serta
kemampuan tertentu selaras dengan jenis kelaminnya. Laki-laki akan dekat dengan sifat-sifat sebagaimana laki-laki, demikian pula perempuan akan dekat dengan sifat-sifat sebagaimana perempuan. Peran seks ini sangat penting pada tahap pembentukan identitas diri, apakah seseorang itu berhasil mengidentifikasi dirinya atau justru melakukan transfer pada identitas yang lain (transeksual).
          Stereotip yang menonjol pada remaja adalah mereka sangat berminat
membicarakan dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual.
Ada lima topik yang diminati remaja dalam upaya memenuhi rasa ingin tahunya
mengenai masalah seksual, yaitu pembicaraan tentang: proses hubungan seksual, pacaran, kontrol kelahiran, cinta dan perkawinan, dan penyakit seksual.
Kebanyakan remaja beranggapan bahwa proses hubungan seksual itu adalah
faktor yang bersifat independen, tidak terkait dengan penyakit seksual atau kehamilan. Perilaku seks bebas memang kasat mata, namun ia tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didorong atau dimotivasi oleh faktor-faktor internal yang tidak dapat diamati secara langsung (tidak kasat mata), sehingga individu tergerak untuk melakukanperilaku seks bebas. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Motivasi tertentu akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks bebas karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Disinilah suatu masalah seringkali muncul dalam kehidupan remaja karena mereka ingin mencoba-coba segala hal, termasuk yang berhubungan dengan fungsi ketubuhannya yang juga melibatkan pasangannya.
          Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai
pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis kelamin. Ketertarikkan
antar lawan jenis ini kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius serta memilih pasangan kencan dan romans yang akan ditetapkan sebagai teman hidup. Pada kehidupan moral, seiringan dengan bekerjanya gonads, tak jarang timbul konflik dalam diri remaja (Sarwono, 1991). Bila dorongan seks terlalu besar sehingga menimbulkan konflik yang kuat, maka dorongan seks tersebut cenderung untuk dimenangkan dengan berbagai dalih sebagai pembenaran diri. Selain itu, pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks (gonads) remaja, sesungguhnya
merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan jasmani secara
menyeluruh. Energi seksual atau libido (nafsu) pun telah mengalami perintisan yang cukup panjang. Sigmund Freud mengatakan bahwa dorongan seksual yang diiringi oleh nafsu atau libido telah ada sejak terbentuknya Id. Faktor lingkungan juga memiliki peran yang tidak kalah penting dengan faktor pendorong perilaku seksual pranikah lainnya. Faktor lingkungan ini bervariasi
macamnya, ada teman sepermainan (peer-group), pengaruh media dan televisi,
bahkan faktor orang tua sendiri. Perilaku yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan (Sarwono, 1998). Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat.

Sumber : jurnal psikologi Taufik dan Nisa Rachmah Nur Aganthi, SEKSUALITAS REMAJA: PERBEDAAN SEKSUALITAS ANTARA REMAJA YANG TIDAK MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL DAN
REMAJA YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL, Fakultas psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Minggu, 08 April 2012

GAYA KELEKATAN DAN KONSEP DIRI


Dalam dunia yang semakin tanpa batas ini, tidak memungkinkan bangsa atau sekelompok orang untuk hidup sendiri. Salah satu teori hubungan interpersonal yang akhir-akhir ini mendapatkan perhatian adalah teori kelekatan Bowbly: yang dicoba digunakan untuk memberikan landasan berfikir mengenai hubungan gaya kelekatan pada masa dewasa dan teori self.
          Teori kelekatan menjelaskan dasar-dasar ikatan afeksional seseorang dengan orang lain. Teori ini pertama kali disusun oleh John Bowbly pada tahun 1973 (dalam Helmi, 1992). Simpson (1990) berpendapat bahwa sistem kelekatan ber-volusi secara adaptif sejalan dengan berkembangnya hubungan antara bayi dengan pengasuh utama; dan akan membuat bayi bertahan untuk tetap dekat dengan orang yang merawat dan melindunginya. Lebih lanjut simpson mengatakan model mental berisi pandangan individu terhadap diri sendiri dan orang lain, yang merupakan organisasi dari persepsi, penilaian, kepercayaan, dan harapan individu akan responsifitas dan sensifitas emosional dari figur lekat. Model mental mempunyai dua komponen, yaitu model mental diri dan dunia sosial. Model mental diri yaitu apakah diri dinilai sebagai orang yang berharga dan dicintai, model mental sosial yaitu pandangan anak terhadap orang lain itu apakah orang lain akan menilai dirinya sebagai orang yang memberikan perlindungan, penghargaan, dan dorongan.
          Dalam kesempatan ini dicoba menjelaskan fenomena kelekatan dan pengaruhnya terhadap self terutama dalam perspektif kognitif. Self dapat dipandang dari perspektif afeksi, kognisi dan perilaku. Komponen kognitif dari sikap adalah bagaimana seseorang mengetahui diri sendiri dan mengembangkan konsep diri. Komponen afektif dari self adalah bagaimana seseorang mengevaluasi diri sendiri, meningkatkan harga diri dan mengatasi ancaman-ancaman terhadap harga diri. Komponen perilaku dari self adalah bagaimana seseorang mempresentasikan diri sendiri kepada orang lain dan meregulasikan perilakunya sesuai dengan tuntutan interpersonal. Dalam kesempatan ini lebih difokuskan pada self dalam perspektif kognitif yaitu konsep diri. Konsep diri merupakan suatu asumsi-asumsi atau skema diri mengenai kualitas personal yang meliputi penampilan fisik, trait/kondisi, kadang-kadang juga berkaitan dengan tujuan dan motif utama. Dalam perspektif kognitif, yang menentukan informasi sosial diperhatikan, diorganisasi dan diingat kembali disebut dengan skema. Skema ini memungkinkan orang mengevaluasi atribut-atributnya secara individual dan melakukan kategori sosial. Skema yang berkaitan dengan persepsi diri adalah self-schema sedangkan yang berkaitan dengan persepsi sosial meliputi person schema. Skema tersebut akan membentuk implicit personality theory. Brigham (1991) mengatakan bahwa implicit personality theory ini kemudian mengarahkan harapan, persepsi dan perilaku terhadap diri atau orang lain.
          Dalam kaitannya dengan kelekatan, apabila figur lekat atau pengganti selalu memberikan respon positif pada saat yang dibutuhkan, anak akan mempunyai keyakinan atau model mental diri sebagai orang yang dapat dipercaya, penuh perhatian dan dihargai, sehingga self-schema dan person schema akan berkembang secara positif, salah satunya adalah mempunyai konsep diri yang matang. Perbedaan dalam hubungan afeksional tersebut oleh Ainsworth pada dasarnya terdiri dari 2 yaitu kelekatan aman dan tidak aman. Gaya kelekatan aman terbagi 2, yaitu cemas dan menghindar. (dalam Collins& Read,1991).
          Ciri-ciri gaya kelekatan aman yaitu mempunyai model mental diri sebagai orang berharga, penuh dorongan dan mengembangkan mental orang lain sebagi orang yang bersahabat, dipercaya, responsif, dan penuh kasih sayang.
          Gaya kelekatan cemas mempunyai karakteristik sebagai orang yang kurang perhatian, kurang percaya diri, merasa kurang berharga dan memandang orang lain mempunyai komitmen rendah dalam hubungan interpersonal.
          Gaya kelekatan menghindar mempunyai karakteristik sebagai orang yang skeptis, curiga dan memandang orang sebagai orang yang kurang mempunyai pendirian.
Sumber: jurnal psikologi Avin Fadilla Helmi, GAYA KELEKATAN DAN KONSEP DIRI, Universitas Gajah Mada.