Entri Populer

Senin, 09 April 2012

SEKSUALITAS REMAJA: PERBEDAAN SEKSUALITAS ANTARA REMAJA YANG TIDAK MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL DAN REMAJA YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL


Pada masa remaja perkembangan seksualitas diawali ketika terjalinnya interaksi antar lawan jenis, baik itu interaksi antarteman maupun interaksi ketika berkencan. Dalam berkencan dengan pasangannya, remaja melibatkan aspek emosi yang diekspresikan dengan berbagai cara, seperti memberikan bunga, tanda mata, mengirim surat, bergandengan tangan, kissing, dan sebagainya. Survei yang dilaksanakan di beberapa negara Asia Tenggara menunjukkan bahwa proporsi perempuan yang melakukan hubungan seks sebelum menikah cukup tinggi. Sementara di Amerika dengan subjek penelitian perempuan Afrika-Amerika berusia 14-18 tahun ditemukan 46% responden melakukan hubungan seksual kurang dari atau sama dengan 4 kali pada 6 bulan terakhir, dan 54 responden melakukan hubungan seksual lebih dari 4 kali dalam 6 bulan terakhir (SHOP Talk, 2002). Penelitian tentang seksualitas remaja pada beberapa kota di Indonesia pun memperlihatkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sarwono (1991) dalam population raport 1985 menunjukkan bahwa 1-25% remaja Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah.
          Survei terhadap perilaku seksual remaja di Jakarta yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK-UI) menunjukkan bahwa 2,8% pelajar SMA wanita dan 7% dari pelajar SMA pria melaporkan adanya gejala-gejala penyakit menular seksual (Utomo dkk, 1998). Sebuah penelitian di Malang dan Manado, serta sebuah penelitian di Bali menunjukkan bahwa 26% dan 29% anak muda berusia 20 sampai 24 tahun telah aktif seksual (Iskandar, 1998). Sementara itu hasil penelitian di Bali yang dilakukan oleh Soetjipto dan Faturochman (1989), menunjukkan bahwa persentase remaja laki-laki dan perempuan di desa dan kota yang telah melakukan hubungan seks sebelum menikah masing-masing adalah 23,6% dan 33,5%. Sementara di Semarang, penelitian terhadap 1086 responden pelajar SMPSMU ditemukan data 4,1% remaja putra dan 5,1% remaja putri pernah melakukan hubungan seks. Pada tahun yang sama Tjitarra mensurvei 205 remaja yang hamil tanpa dikehendaki. Survei yang dilakukan Tjitarra juga memaparkan bahwa mayoritas
dari mereka berpendidikan SMA ke atas, 23% di antaranya berusia 15-20 tahun,
dan 77% berusia 20 - 25 tahun (Satoto, dalam Yeni 1998). Sebuah survei terhadap 8.084 remaja laki-laki dan remaja putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten pada empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap bahwa perempuan
tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kenyataan-kenyataan di atas secara umum sangat kontradiktif dengan budaya Timur yang santun dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral-etik, dan secara khusus juga bertentangan dengan landasan filosofis dan budaya masyarakat Surakarta
yang adiluhung. Sebagaimana diketahui, Surakarta atau sering juga disebut Kutho Solo memiliki dinamika yang berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia, sehingga banyak gelar yang disandangnya, dari mulai kota budaya, kota kerajaan, kota berbasis agama hingga sebutan sebagai kota pelajar. Seringkali terjadi perbedaan pengertian antara perilaku seksual dengan hubungan seksual, sehingga masyarakat menangkap perilaku seksual sebagai hal yang negatif. Perilaku seksual ialah perilaku yang melibatkan sentuhan secara fisik anggota badan antara pria dan wanita yang telah mencapai pada tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri.
          Secara psikologis pada fase remaja ada dua aspek penting yang dipersiapkan (Imran, 2000), antara lain:
Orientasi seksual. Pada masa ini remaja diharapkan sudah menemukan orientasi seksualitasnya atau arah ketertarikan seksualnya (heteroseksualitas atau homoseksualitas). Norma umum yang berlaku lebih menyukai jika seseorang menyukai orientasi seksualitas ke arah heteroseksualitas. Namun, tidak dipungkiri ada remaja yang memilih orientasi seksualitas homoseksualitas. Orientasi ini dipengaruhi oleh penghayatan terhadap jenis kelamin. Faktor individu (fisik atau psikologis), keluarga dan lingkungan ikut mendorong dan berperan dalam menguatkan identitas ini.
Peran seks. Peran seks adalah menerima dan mengembangkan peran serta
kemampuan tertentu selaras dengan jenis kelaminnya. Laki-laki akan dekat dengan sifat-sifat sebagaimana laki-laki, demikian pula perempuan akan dekat dengan sifat-sifat sebagaimana perempuan. Peran seks ini sangat penting pada tahap pembentukan identitas diri, apakah seseorang itu berhasil mengidentifikasi dirinya atau justru melakukan transfer pada identitas yang lain (transeksual).
          Stereotip yang menonjol pada remaja adalah mereka sangat berminat
membicarakan dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual.
Ada lima topik yang diminati remaja dalam upaya memenuhi rasa ingin tahunya
mengenai masalah seksual, yaitu pembicaraan tentang: proses hubungan seksual, pacaran, kontrol kelahiran, cinta dan perkawinan, dan penyakit seksual.
Kebanyakan remaja beranggapan bahwa proses hubungan seksual itu adalah
faktor yang bersifat independen, tidak terkait dengan penyakit seksual atau kehamilan. Perilaku seks bebas memang kasat mata, namun ia tidak terjadi dengan sendirinya melainkan didorong atau dimotivasi oleh faktor-faktor internal yang tidak dapat diamati secara langsung (tidak kasat mata), sehingga individu tergerak untuk melakukanperilaku seks bebas. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Motivasi tertentu akan mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks bebas karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Disinilah suatu masalah seringkali muncul dalam kehidupan remaja karena mereka ingin mencoba-coba segala hal, termasuk yang berhubungan dengan fungsi ketubuhannya yang juga melibatkan pasangannya.
          Pada kehidupan psikis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai
pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis kelamin. Ketertarikkan
antar lawan jenis ini kemudian berkembang ke pola kencan yang lebih serius serta memilih pasangan kencan dan romans yang akan ditetapkan sebagai teman hidup. Pada kehidupan moral, seiringan dengan bekerjanya gonads, tak jarang timbul konflik dalam diri remaja (Sarwono, 1991). Bila dorongan seks terlalu besar sehingga menimbulkan konflik yang kuat, maka dorongan seks tersebut cenderung untuk dimenangkan dengan berbagai dalih sebagai pembenaran diri. Selain itu, pertumbuhan kelenjar-kelenjar seks (gonads) remaja, sesungguhnya
merupakan bagian integral dari pertumbuhan dan perkembangan jasmani secara
menyeluruh. Energi seksual atau libido (nafsu) pun telah mengalami perintisan yang cukup panjang. Sigmund Freud mengatakan bahwa dorongan seksual yang diiringi oleh nafsu atau libido telah ada sejak terbentuknya Id. Faktor lingkungan juga memiliki peran yang tidak kalah penting dengan faktor pendorong perilaku seksual pranikah lainnya. Faktor lingkungan ini bervariasi
macamnya, ada teman sepermainan (peer-group), pengaruh media dan televisi,
bahkan faktor orang tua sendiri. Perilaku yang tidak sesuai dengan tugas perkembangan remaja pada umumnya dapat dipengaruhi orang tua. Bilamana orang tua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seks kepada anak-anaknya, maka anak-anaknya cenderung mengontrol perilaku seksnya itu sesuai dengan pemahaman yang diberikan orang tuanya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri, dan dapat pula diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami-istri yang bersatu dalam perkawinan (Sarwono, 1998). Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak memberikan pemahaman tentang masalah-masalah seks anak. Akibatnya anak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat.

Sumber : jurnal psikologi Taufik dan Nisa Rachmah Nur Aganthi, SEKSUALITAS REMAJA: PERBEDAAN SEKSUALITAS ANTARA REMAJA YANG TIDAK MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL DAN
REMAJA YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKSUAL, Fakultas psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar